Pantang Adat Itu Bernama Joka Ingga

Nasi bambu, salah satu makanan yang dimasak/dimakan saat Joka Ingga (pire) berlangsung di Kecamatan Detusoko.

Kalian mungkin sudah membaca pos kemarin soal Batal Ngopi di Lepa Lio Cafe. Satu-satunya kafe yang baru dibuka di Kecamatan Detusoko oleh Nando Watu, founder Remaja Mandiri Community (RMC) Detusoko. Alasan batal ngopi di kafe baru yang berdiri di tepi jalan trans Flores tersebut karena sedang ada pantang adat atau pire. Ini yang menjadi pertanyaan besar teman-teman blogger. Apakah pire itu? Seberapa besar kekuatan pire sehingga segala aktivitas yang berhubungan dengan sawah/ladang, kios, warung, kafe, harus dihentikan selama pire berlangsung (kecuali kantor dan sekolah)? Kapan jadwal pire dilaksanakan? Dan pertanyaan lain-lain yang tidak bisa langsung saya jawab karena saya belum memperoleh informasi langsung dari penduduk Kecamatan Detusoko. Karena saat ke sana kemarin itu, tidak ada orang dewasa yang bisa bercerita tentang alasan sepinya Kecamatan Detusoko. Hanya beberapa bocah SD yang bingung melihat saya foto sana sini lokasi Lepa Lio Cafe dan sekitarnya.


Bertanya langsung pada Nando adalah langkah yang tepat karena dia bahkan sudah menulis tentang pire ini. Selain Nando saya juga bertanya pada Violin Kerong yang mengikuti ritual Joka Ju di Nggela beberapa bulan lalu. Apa hubungan Joka Ju dengan pos ini? Baca sampai selesai supaya tahu hahahah.

Di Kabupaten Ende, setiap wilayah adat mempunyai tradisi pire-nya masing-masing.

Apa itu Pire?

Pire berarti pantangan adat. Pire tidak sama dengan pamali. Pamali lebih luas maknanya; salah satunya adalah umat Muslim pamali memakan daging babi. Pire adalah pantangan yang berhubungan dengan tradisi, adat, dan budaya. Dan pire berlaku pada dua suku besar di Kabupaten Ende yaitu Suku Ende dan Suku Lio. Di Kampung Kolibari (Suku Ende) misalnya, Kakak Pacar pernah berkata bahwa ipar perempuan pire bertatap muka dan mengobrol dengan ipar laki-laki. Sahabat saya, Yohana Gabriela (Suku Lio), pernah bercerita tentang mertua laki-laki yang kalau mengobrol jarang bertatap muka dengannya, karena pire. Dulu pun saat kami sekeluarga ke kampung Nuabosi atau ke kampung Faipanda (dari garis moyangnya Mamatua), sering diingatkan untuk tidak teriak-teriak atau tertawa terbahak-bahak, juga karena pire

Baca Juga : Ritual Goro Fata Joka Moka (2016)

Tapi pire yang saya ulas kali ini punya makna yang lebih dalam. Di Kabupaten Ende pantang adat / pire berlangsung di masing-masing wilayah adat. Pire ini berkaitan dengan ritual adat untuk 'membersihkan desa atau kampung'. Maksudnya adalah agar desa atau kampung mereka terlindungi dan bebas dari segala macam penyakit, hama, hingga bencana. Pasti kalian langsung ingat pos Ritual Goro Fata Joka Moka di Desa Manulondo - Ndona kan? Betul sekali, kawan. Di Ndona disebut Goro Fata Joka Moka, di Nggela disebut Joka Ju, dan di Detusoko disebut Joka Ingga. Informasi dari Nando, menyebutkan bahwa, nama lain dari ritual adat ini adalah Poo Teu.

Secara simbolis, penyakit dan bencana dibuang ke balik Gunung Ia (dalam Goro Fata Joka Moka yang berlangsung di Desa Manulondo - Ndona).

Jadi, berkaitan dengan sepinya Kecamatan Detusoko saat saya tiba kemarin itu terjawab melalui pos ini. Bahwa sedang ada pire yang disebut Joka Ingga


Mari kita simak tulisan Nando di laman Facebooknya:

JOKA INGGA : Suara Tradisi-Panggilan Semesta dalam Menata Peradaban.


OLEH: NANDO WATU


Pembangunan dalam Lensa Global

Dunia global tengah berteriak soal pola pembangunan yang ramah lingkungan, berpihak pada alam dan pelestarian pada budaya, konsep  ini kemudian diterjemahkan dalam 17 butir pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGEs). Tidak mengherankan jika aplikasi dari 17 butir  SDGEs  ini melahirkan aneka program, regulasi aturan dan kebijakan-kebijakan international hingga lokal. Misalnya lahirnya Laudato Si, Ensiklik Paus Fransiskus, tentu tidak bisa lepas dari koridor ini, atau berbagai lembaga LSM international/nasional/lokal mengimplentasikan program-program pembangunan yang berkaitan dengan *go green*/ sustainable tourism/food for the future/green economy/ecotourism/eco-lifestyle dan sebagainya.

Asean sebagai Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara misalnya  memberikan penghargaan untuk destinasi-destinasi wisata yang mengedepankan pola wisata yang ramah lingkungan, keuntungan bagi warga lokal, pelestarian terhadap budaya dgn memberikan   Asean Sustainable Tourism Awards/ASTA sebuah ajang Penghargaan tingkat asean untuk destinasi di negara-negara yang mengimplementasikan konsep pembangunan pariwisata yang ramah lingkungan

Indonesia misalnya negara yang menjadikan pariwisata sebagai sumber devisa negara setelah minyak dan gas pun telah mengimplementasikan 17 poin SDGEs kedalam  Peraturan Mentri No. 14 tahun 2016,  tentang pedoman pariwisata yang berkelanjutan,

Di tataran lokal, berbagai lembaga swadaya dan pemerintah lokal  tengah mendesign  konsep desa2 wisata tak heran jika ada desa Wisata Alam, Bumdes Pariwisata, dan lain-lain. Semuanya ini adalah contoh-contoh konkret bagaimana pembangunan apapun bentuknya dipersiapkan untuk mengedepankan konsep keberlanjutan/sustainable yang ramah terhadap lingkungan, lestari terhadap budaya dan mengedepankan kesejahteraan sosial.

*Joka Ingga: Belajarlah dari Tradisi Lokal

Tepat 17 Oktober 2018, persekutuan komunitas masyarakat Adat Detusoko yang menggantungkan hidup 100% dari kemurahan alam melalui budaya pertanian Agraris melakukan ritus penting dalam koridor kelederium adat tahunan  yakni Tolak Bala/Joka Ingga (JOKA JU, Poo  Teu sebutan untuk beberapa wilayah Lio lainnya). Ritus  Joka Ingga/Joka Ju ini diartikan sebagai sebuah Aksi dari Peradaban Suku Lio-Flores Tengah untuk pemurnian Alam/Kebun, menolak semua energi negatif yang menghancurkan tanaman juga serentak tanda perdamaian dengan binatang-binatang yang merusak tanaman/tumbuhan. Dalam dan melalui Joka Ingga, salah satu tua adat, Pembawa Pesan/ Ata Bhisa  akan mengumumkan sukses/berhasil atau tidaknya panenan setahun ke depan.

Joka Ingga bagi sebagian besar komuntas adat Lio berkisar antara Bulan September-Oktober hal ini menunjukan bahwa sebelum musim hujan tiba (Oktober) diawali dengan pemurnian alam.  Pesan di balik Joka Ingga Ibarat memohon restu dari Ibu Bumi-Bunda Pertiwi untuk perlindungan terhadap benih, kesuburan tanaman hingga kelimpahan panen . Di sinilah kekayaan konsep pembangunan  dalam tinjauan tradisi lokal yang tidak hanya searah dengan Musim (tinjauan Science), namun juga berdaya spiritual dan mistis. Tidak hanya tinjauan ekonomis yang berujung pada kelimpahan panen dan pemenuhan kebutuhan  hidup namun juga serentak tanda perdamaian dan relasi dengan Alam. Ada komunikasi antara manusia dengan alam dan sesama ciptaan, bahkan dalam dari pada itu ada momentum reflektif bagi manusia sebagai bagian dari kosmik/alam ini. Tidak heran jika satu hari  setalah ritus Joka Ingga selama 1 minggu penuh seluruh warga masyarakat adat yang berada dalam wilayah persekutuan Detusoko akan beristrahat berkebun/turun ke sawah/ladang (pire), kios-kios ditutup, pasar ditunda, tanpa ada aktivitas sebagimana biasa (terkecuali anak-anak sekolah dan kantor-kantor dibuka). Tidak boleh memetik daun daun hijau, pondok-pondok di kebun tidak boleh berasap, dilarang menyapu teras rumah, menjemur pakaian, atau membunyikan aneka musik, singkat kata selama satu pekan tak ada bunyi-bunyian, pagi hingga malam dalan keadaanya sunyi, sepi, penghuni dituntut untuk berada di rumah, merenung dan merefleksikan diri.  Bahkan ada yang lebih dahsyat di sebagian komunitas Adat Lio sebut saja Nuaone-Wolondopo atau Kampung Nggela selama 3 bulan dilarang untuk bunyi-Bunyian atau cahaya lampu tidak boleh keluar dari teras rumah. Jika dilanggar akan ada sanksi/denda adat.

Inilah bukti dan fakta bahwa suara tradisi  menggemakan nilai nilai luhur semata, jika mau hidup berkelanjutan, harus ada refleksi, tidak habis pada tataran seminar/lokakarya dan regulasi namun harus sampai pada aksi/sikap atau perilaku manusia. Inilah yang lebih mendasar. Alam semesta adalah sahabat, merka adalah saudara kita, kita menjadi  bagian dari alam semata, wujud relasi sebagai sahabat dan saudara inilah terejawantah dalam Satu dari berbgaia rangkain tradiai adat seperti JOKA INGGA .

Jadi, pola pembangunan yang ramah lingkungan dan mengedepankan keberlanjutan adalah sebuah kemestian  jika mengakomodir nilai2 luhur tradisi, suara2 tradisi  inilah sebagai sumber kebijakan moral untuk mengontrol dunia Kapitalis yang lebih mengutamakan logika ekonomi ketimbang dimensi sosial dan budaya apalagi spiritual.
Bangsa-bangsa Barat harus banyak belajar dari Tradisi-tradisi Timur yang kaya akan Perspektif spiritual,tradisi, budaya dan sosial  pandangan masyarakat lokal/indiginous people jauh melampaui peradaban modern, cara berpikir masyarakat adat menembus batas generasi, tidak hanya untuk kepentingan hari ini dan besok namun justru untuk 1000 tahun lagi.

Konsep-konsep tradisi  yang sangat kaya ini harus bisa tertuang dalam dokument RPJMdEs Desa, atau regulasi-regulasi berupa Perda, atau sekelas Perdes, Perbub/Pergub, lembaga Agama pun harus mampu mengakomodir, semisal agama katolik menjadikan nilai-nilai tradisi  ini sebagai bagian dari  karya-karya pastoral Kategorial

Peradaban kekinian tengah kehilangan identitas dunia global tengah mencari format pembanguna  yang mapu bertahan 1000 tabun, maka untul itu tak ada jalan lain selain mencari format peradaban yang asli, yang original  yang tradisional, yang makin kampung makin autentik akan makin dicari dan makin Mahal dan tentu makin bertahan sepanjang zaman. Oleh karena itu, Dunia Global Harus belajar dari Tradisi Lokal, begitu pula sebaliknya, Lokal-Global Lokal harus dikawinkan, keduanya saling mencerahkan dan Melengkapi.

Dan akhirnya Menutup rangkaian tulisan kecil ini   saya mengutip tema Konferensi Terra Madre-yang sempat saya hadiri  pada Bulan November 2015 yang diselenggarakan Di Meghalaya North East India; The Future We Want is Indiginous Prespectives and Action (masa depan yang kita inginkan  adalah perspektif dan aksi dari masyarkat lokal/adat).

Salam: Decotourism: 19102018.

Nando berkata bahwa dia hanya mau memberikan satu dua poin dari tradisi lokal yang perlu dikenal oleh komunitas moderen (antara konsep pembangunan global dan lokal).

Hal yang sama juga saya dapatkan dari Violin Kerong saat mengikuti upacara Joka Ju (Joka: tolak, ju: bala) di Nggela. Untuk yang satu ini harus ditulis terpisah hehehe. I promise you!


Bulan lalu, Cahyadi juga meliput kegiatan pire di Kampung Saga. Hal yang sama juga terjadi seperti di Detusoko, Nggela, atau di Manulondo. Menurut penuturan Cahyadi, bahwa saat pire itu setiap rumah tidak diperbolehkan beraktivitas seperti memasak, dilarang melintas di rumah adat utama, dilarang bekerja di ladang, dan lain sebagainya.

Kesimpulannya?

Pire adalah pantang adat di suatu wilayah adat di Kabupaten Ende yang wajib dipatuhi oleh semua masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut. Pada saat pire berlangsung (bisa empat hari, bisa satu minggu, bisa tiga bulan, tergantung masing-masing wilayah), masyarakat dilarang beraktivitas seperti dilarang bersawah dan berladang, dilarang membuka kios/warung, dilarang melakukan aktivitas tertentu seperti menimbulkan bunyi-bunyian, dilarang membakar sampah/api di sekitar ladang, dan lain-lain pantangan. Pire seperti Joka Ju, Joka Inga, atau Goro Fata Joka Moka bertujuan untuk melindungi desa dengan membuang semua kesialan (penyakit, hama, bencana) dari desa tersebut melalui barang-barang simbolis yang dilakukan sesuai adat dan tradisi setempat, dan agar hasil panen berikutnya melimpah. Selain itu, pada saat pire dilakukan ritual lain seperti memotong hewan, tarian adat, dan renovasi/perbaikan rumah adat.

Baca Juga : Aimere, Tak Hanya Moke

Semoga suatu saat saya dapat menghadiri pantang adat ini selain Goro Fata Joka Moka di Desa Manulondo, Ndona.

Yuk, datang ke Ende!


Cheers.

Komentar

  1. Ini pada tingkatan aktivitas di kampung jadi mirip kegiatan Nyepi di Bali ya.. btw kalau Pire sampai 3 bulan begitu susah juga ya.. tapi cocok buat jadi kampung yang tenang buat nyepi dari hiruk pikuk peradaban.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biarpun lama, masyarakat adat pasti mematuhi ya, Bang Bahtiar hehehe. Masyarakat adat sangat patuh pada aturan-aturan adat salah satunya pire ini heheh :)

      Hapus

Posting Komentar

Untuk pertanyaan penting dengan respon cepat, silahkan hubungi nomor WA 085239014948 (Chat Only!)