Ritual Goro Fata Joka Moka (2016)


Tahun 2016 saya berkesempatan mengikuti dua kegiatan adat dan budaya. Saya menyebut ini momen emas karena kapan lagi bisa ikut kegiatan kece begini? Kegiatan yang pertama adalah ritual Goro Fata Joka Moka di Desa Manulondo, Kecamatan Ndona. Kegiatan yang kedua adalah Lomba Naro yang dilaksanakan di Kelurahan Onekore, Kecamatan Ende Selatan. Tentu, kedua daerah itu berada dalam wilayah administratif Kabupaten Ende. Kalian sudah pernah ke Ende? Kalau belum, ayo ke Ende, hehehe.


Ritual Goro Fata Joka Moka dilaksanakan dengan maksud untuk menolak bala (menyelamatkan kampung/desa) dari hama dan penyakit. Berdasarkan cerita Kakak Pacar yang mengikutinya sejak awal, Goro Fata Joka Moka dilaksanakan 3 (tiga) hari dengan pra 1 (satu) hari sebagai persiapan. Berdasarkan informasi dari blog Om Ihsan yang asli penduduk Desa Manulondo:

Rangkaian kegiatan adat ini dilaksanakan selama 3-4 hari dengan rangkaian acaranya yaitu; hari pertama dilakukan pembersihan keda kanga (dalam istilah adatnya je ngaki keda kanga) hari kedua dilakukan renovasi rumah adat (kema nena keda kanga) dan pembuatan sampan mini untuk mengisi sesajen yang akan dilakukan pada puncak acara. Sementara hari ketiga yaitu puncak acara adatnya goro fata joka moka (upacara tolak bala) dari ujung kampong ke pantai Nanganesa.

Menurut Bpk. Antonius Te (Mosalaki Ria Bewa yang juga mantan Kepala Desa Manulondo) mengatakan bahwa Upacara yang melibatkan seluruh masyarakat Desa Manulondo merupakan rutinitas yang digelar setiap tahun pada Bulan Mei minggu kedua. Gelaran kegiatan adat ini disamping untuk menolak bala atau mengusir hama dan penyakit juga bertujuan untuk melestarikan budaya setempat agar dapat dikenal dan diwariskan kepada generasi-generasi Desa Manulondo.

Saya hanya sempat meliput 2 (dua) hari karena juga sedang mengikuti kegiatan lain. Oleh karena itu di sini saya menulis hari pertama dan hari kedua saja ya.


Hari Pertama

Hari pertama yang saya lihat adalah adanya renovasi rumah adat (bukan rumah adat utama) oleh masyarakat adat. Renovasi rumah adat ini bukan sembarang renovasi. Mosalaki Ria Bewa lah yang menentukan harinya serta memulainya yang kemudian dilanjutkan oleh penduduk lain, klan tukang kayu, yang sudah diwariskan secara turun-temurun serta dibantu oleh masyarakat adat (fai walu ana kalo) dan penduduk lainnya. Selain renovasi rumah adat, dilakukan juga perbaikan alat musik yang disebut go lamba (gong dan lamba) yang nantinya pada acara puncak akan terus ditabuh dari desa ke pantai.

Renovasi rumah adat.

Rumah adat utamanya (Sa'o Ria) yang disebut Sa'o Ria Embu Mewu.

Selain itu juga sudah mulai disiapkan sebuah perahu kecil untuk membawa benda-benda sebagai tolak bala pada hari terakhir/puncak acara. Selama berada di sini saya terus mendengar suara go lamba yang dimainkan serta ada satu dua mama yang menari (menunjukkan kegembiraan) di sela-sela bekerja.

Hari Kedua

Ini adalah hari yang melelahkan karena kegiatan berlangsung dari pagi hingga sore tanpa jeda. Pagi-pagi sekali masyarakat sudah berkumpul di sekitar Sa'o Ria Embu Mewu. Ada pelaksanaan potong hewan (sapi, babi, ayam) dengan tata cara adat yang dipimpin oleh mosalaki. Masyarakat juga membawa beras dan lain sebagainya ke sa'o ria ini. Kaum lelaki memasak dan menyiapkan tempat untuk menyimpan tuak.

Laki-laki memasak di dapur tradisional.

Semangat!

Semua masyarakat boleh naik/masuk ke Sa'o Ria Embu Mewu dengan syarakat kakinya dicuci oleh Mosalaki Ria Bewa, seperti gambar berikut:

Cuci kaki sebelum memasuki Sa'o Ria Embu Mewu.

Saya masih sempat menangkap gambar mama-mama yang duduk di depan/teras Sa'o Ria Embu Mewu ini.


Yang menarik adalah si mama sedang menghancurkan sirih, pinang, dan kapur. Menyirih bisa dilakukan dengan langsung mengunyah tapi kalau giginya sakit bisa juga dihancurkan dulu seperti gambar berikut:


Masih ingat perahu kecil pada hari pertama di atas? Fai walu ana kalo dan para mosalaki serta keluarga mereka menyiapkan emas (wea) dan dari daun koli sebagai anting-anting dan londa (kalung) dari daun-daunan (simbol). Selain itu juga ada bahan makanan seperti kelapa kering, telur, daging dan hati ayam kampung, nasi putih, ubi. Semua itu adalah sesajen yang diletakkan di perahu kecil itu. Peletakan sesajen juga tidak asal-asalan. Harus dilakukan oleh Mosalaki Ria Bewa dengan pa'a loka (pemberian makan) dan sua sasa (bahasa adat/do'a). 


Lalu perjalanan dari desa menuju pantai pun dimulai. Arak-arakan ini dilakukan dengan teratur sambil membawa perahu kecil dan tabuhan go lamba. Kalau boleh saya bahasakan: hama dan penyakit dibawa keluar dari kampung menuju pantai tempat pembuangan.


Di tepi pantai, mosalaki kembali berbicara dengan bahasa adat tentang sesajen ini, bahwa inilah hama dan penyakit yang disingkirkan dari desa dan semoga desa diberi ketenangan serta kebaikan untuk penduduknya. Mendengar bahasa adat selalu membuat saya merinding. Ada perasaan gimanaa gitu. Haru, bangga (masih bisa mendengar langsung), dan sedikit aura mistis. Manapula tempat perhentian di tepi pantai ini dipercaya ada buaya putih yang menunggunya.

Selanjutnya, perahu kecil tadi dibawa ke laut untuk dibuang hingga ke belakang Gunung Ia. Perjalanannya tentu jauh dan lama tetapi masyarakat tetap menanti di tepi pantai hingga orang-orang yang membawa perahu tersebut (dengan satu perahu besar lagi) kembali ke daratan.

Perahu kecil dibawa ke perahu besar untuk dibuang di balik Gunung Ia.
 
Karena kepanasan dan sudah mulai merasa letih, saya tidak menunggu sampai orang-orang ini kembali ke daratan. Saya langsung tancap gas pulang ke rumah. Hehe. Sebenarnya waktu itu saya mencari teh botol super dingin yang adalah tidak boleh mengingat kadar gula dalam darah. Tapi sudah kehausan ini ... hajar.

Ritual Goro Fata Joka Moka selanjutnya tidak saya ikuti lagi. Mungkin tahun depan hehe. 

Ende terkenal dengan adat dan budayanya yang masih sangat kental. Tapi penduduk Ende tidak pernah menutup diri dari hal-hal yang moderen, tanpa melupakan adat dan budaya mereka. Kalian tidak perlu heran jika melihat rumah adat (rumah panggung) milik penduduk tapi di dalamnya dilengkapi dengan teve kabel atau di depannya diparkir mobil. Kalian juga tidak perlu heran apabila melihat kaum muda yang meskipun memakai sepatu boot dengan memakai lawo (sarung tenun ikat) dan lambu (baju adat untuk perempuan).


Fyi:
Adat tidak dapat diperbarui begitu saja tapi hukum adat dapat diperbarui sesuai kondisi zaman tanpa melupakan kaidah dasarnya. Oleh karena itu hukum adat itu disebut hukum yang fleksibel.


Informasi

Jarak dari Kota Ende ke Desa Manulondo:
10 - 20 menit.

Kendaraan:
Mobil dan sepeda motor.

Penginapan terdekat: 
Berada di Kota Ende.

Rumah makan terdekat:
Berada di Kota Ende.



Cheers.

Komentar

  1. Sangat membanggakan adat istiadat turun temurun tetap terjaga dengan baik sampai sekarang ini.
    Dan harapanku, sampai kapanpun kebudayaan daerah tetap terjaga kelestariannya, seperti Goro Fata Jaka Moka dan dan lomba Naro ini.

    Bagus sekali adat istiadatnya,kak.
    Yang bikin gagal fokus, beberapakali scroll layar itu, loh ..., kain-kain yang digunakan mereka.
    Terutama lelaki yang sedang memasak ..., kainnya kereeeeen banget !.

    Salut lagi,
    Rumah traditional tetap terjaga, fasilitas modern melengkapi didalamnya 👍

    BalasHapus
  2. Bangga, benar sekali Himawan ... adat budaya yang terus lestari ini patut diacungi jempol. Kalau kata Ludger, anggota Kelas Blogging NTT: mengawal budaya. Kalau lomba Naro nanti bakal saya tulis terpisah hahahaha.

    Kain yang digunakan itu memang juga dipakai sehari-hari. Kalau untuk laki-laki namanya RAGI MITE kalau untuk perempuan banyak jenis/macamnya.

    BalasHapus
  3. Ayah saya orang Flores, meski sekarang merantau di Cirebon.

    Sy hanya bbrpx bs pulang lihat tanah nenek moyang. Sy pny kampung itu di Mudetelo, desa kecil masih sekitar Ende juga, dekat kayanya kalau ke Danau Kelimutu.

    Tp mm besar tinggal di Maumere, ada juga di Maubasa dekat laut selatan, kalau dari Mudetelo turun bukit ke arah selatan.

    Sy tidak tahu banyak soal adat2, karena generasi ayah sy ke sni, sdh tdk bgtu jalankan adat2 trllu, hanya sesekali kalau acara2 trtentu.

    Lagi pula ayah sy sdh tk pernah pulang, jd tdk bnyk sy dpt informasi ttg adat2 bgni. Hny sj sy pny drh org Flores sana hahaha

    Salam kenal ya :p, bisa cri tw dg baca2 di sini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hwah! Orang Flores! Salam, terimakasih sudah berkunjung ke sini, semoga informasi dari konten yang ada di sini dapat mengobati kerinduan (cie bahasanya heheeh :P) kerinduan akan tanah Flores. Karena yang saya tulis tidak semata-mata tentang Ende, tapi juga daerah lainnya yang pernah saya kunjungi/datangi :)

      Salam.

      Hapus
  4. Saya belum pernah ke Ende. Wah, saya selalu senang membaca tentang kegiatan-kegiatan yang masih melestarikan adatnya. Beruntung banget bisa menghadiri kegiatan adat seperti ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya beruntung sekali masih bisa menghadiri kegiatan budaya semacam ini. Makasih sudah baca :)

      Hapus

Posting Komentar

Untuk pertanyaan penting dengan respon cepat, silahkan hubungi nomor WA 085239014948 (Chat Only!)