Batal Ngopi di Lepa Lio Cafe

Pemandangan pematang sawah di Detusoko.

Rabu, 24 Oktober 2018, setelah kemarinnya #KakiKereta ke Nangaba, sekitar pukul 10.00 Wita saya baru keluar rumah dengan bekal termos mini berisi kopi susu dan sebotol air minum. Setelah mengisi bensin dan mengambil tiga potong besar-besar roll tart dari Kakak Niniek, lumayan buat ganjal perut apabila asam lambung merangkak naik karena tidak mungkin saya menembak kerbau penduduk setempat, Onif Harem saya pacu dari Kota Ende menuju arah Timur. Tujuan saya hanya satu: ngopi cantik di Lepa Lio Cafe. Kafe ini berada di tepi jalan raya antar kabupaten di Pulau Flores atau disebut trans Flores, di Kecamatan Detusoko. Saya tertarik dengan pos Facebook Nando Watu.


Jarak dari Ende ke Kecamatan Detusoko sekitar 33 kilometer. Waktu tempuh tergantung pada kecepatan speedometer masing-masing kendaraan. Rata-rata sih sekitar tiga puluh menit dari Kota Ende sudah tiba di Kecamatan Detusoko.


Siapakah Nando Watu?

Sudah lama saya mengenal laki-laki yang berciri khas rambut kriwil dan senyum manis ini. Sejak zaman situs Flores Bangkit bersama Mas Dony. Kami sering kopi darat untuk saling berbagi cerita tentang kegiatan masing-masing. Saya sangat salut pada Nando yang menjadi penggerak kaum muda di Kecamatan Detusoko untuk menjadi lebih aktif-positif dalam membangun daerahnya dengan Remaja Mandiri Community (RMC) Detusoko. Bersama RMC, Nando membangun Decotourism. Informasi dari situsnya: Detusoko Integrated Eco Village merupakan proyek sosial yang diinisiasi oleh alumni Indonesia dari program YSEALI E-Community Generation Workshop yang dilaksanakan di Hanoi, Vietnam (1-4 Agustus 2017). Program ini berisi kegiatan pemberdayaan petani di Desa Ende, Detosoko. Tujuan dari proyek ini adalah peningkatan kesejahteraan ekonomi, peningkatan utilisasi pariwisata dan kebermanfaatan bagi masyarakat sekitar dengan menonjolkan potensi agrikultur dan pariwisata. 

Nando Watu, paling kiri dari kalian, hehehe.


Nando Watu juga sudah lama dikenal bersama Seniman Pangan Flores mengembangkan potensi kuliner lokal yang mendunia. Sebut saja Kopi Detusoko, Koro Degelai (sambal lombok-tomat dalam kemasan), serta Selai Kacang. Kemasan Koro Degelai dan Selai Kacang ini eksklusif menggunakan botol kaca. Memang sengaja dibikin begitu; tidak masal tapi bercitarasa dan bergaya. Keren sekali kan? Kok saya jadi tambah salut sama si Nando ini. Salut maksimal pokoknya!

Baru-baru ini dari laman Facebook-nya, saya memperoleh informasi tentang kafe yang dibuka oleh Nando yang bernama Lepa Lio Cafe. Kebetulan hendak cuti, saya berencana untuk nongkrong cantik di Lepa Lio Cafe. Surga sekali kan ngopi-ngopi sambil cuci mata melihat pematang sawah. Maka, sesuai dengan tulisan di awal pos, berangkatlah saya dari Kota Ende ke arah Timur. Menyusuri trans Flores menggunakan sepeda motor itu sangat nikmat, kawan. Beda dengan kendaraan roda empat, terkhusus saya, karena usus dan tetangganya bisa nongol di lobang hidung akibat mabuk darat yang dahsyat.

Dari Facebook-nya Nando Watu. Kopinya cihuy!

Dari Ende ke Detusoko, seperti biasa, mata saya dimanjakan dengan pemandangan ciri khas Pulau Flores: bukit, tebing, sungai, pematang sawah, serta saung-saung pedagang jagung rebus. Karena cuaca sedang sangat panas dan jauh dari hujan, tidak ada air terjun di sepanjang tebing yang saya lalui. Coba kalau musim hujan, sebentar-sebentar ketemu air terjun hehehe. Tapi kondisi panas itu saya jalani dengan hati yang tabah, demi menikmati kopi aseli Detusoko.


Sayangnya, saat tiba di Kecamatan Detusoko saya tidak melihat aktivitas seperti biasanya. Pusat Kecamatan Detusoko, seperti gambar di atas, merupakan terminal tempat kendaraan umum trans Flores ngetem beberapa saat untuk mengisi penumpang dan/atau mengisi perut. Tempat ini selalu ramai. Se-la-lu ra-mai! Tetapi waktu saya tiba kok sepi ya? Warung tempat saya biasa mengisi perut pun tutup! Saya kan lapar! Dududu belum niat mengeluarkan roll tart hehe. Saya lantas putar balik mencari Lepa Lio Cafe.

Trada ... 

TUTUP.


Atau jangan-jangan ada perubahan jadwal daerah ramai ini bakal mulai hidup di atas jam dua belas siang? Aaaah tidak mungkin!


Bertanya pada beberapa bocah SD yang baru pulang sekolah tentang kafe ini, mereka menggeleng dan bertaka: tutup. Ya iyalah, jelas-jelas tutup begitu. Jadi bijimanah ini? Saya harus ke mana melabuhkan perasaan ini? Mau melanjutka perjalanan ke Moni, waktu tidak mencukupi karena saya harus sudah bertugas di Stadion Marilonga sebagai panitia Turnamen Ema Gadi Djou Memorial Cup. Ya sudah, jalan-jalan sekitar Detusoko saja. Eh, ketemu plang nama Decotourism ini:


Ketemu juga saung tempat orang jualan kopi yang juga tutup. Tapi tulisannya cukup mantab jiba untuk dibaca:


Sesungguhnya di dalam secangkir kopi itu terdapat KENIKMATAN!!!

Karena hanya punya satu tujuan tunggal di Detusoko yaitu Lepa Lio Cafe, dan kafenya tutup, maka saya memutuskan untuk pulang. Pulang dengan teratur hihihi. Bahkan saya lupa mengembat bekal yang dibawa dari rumah. Sepertinya perut menolak untuk diisi karena kecewa hahaha. Dudul. Ya sudah, tibalah saya di rumah dan mulai mencari informasi tentang kesepian yang terpampang nyata di Detusoko. Ada apa kah sebenarnya? Dan informasi itu saya peroleh dari laman Facebook Nando ... informasi yang seharusnya sudah saya baca sebelum berangkat ke Detusoko.


Inilah yang terjadi sodara-sodara jika tidak mencari informasi terlebih dahulu. Kalau Pasola saja bisa dijadikan hari libur se-kabupaten, maka pantang adat/pire pun demikian. Pantang adat atau pire ini wajib ditaati oleh semua masyarakat yang tinggal di Detusoko (atau suatu wilayah adat), bahkan warung makan langganan saya di Detusoko yang dikelola oleh Orang Jawa pun tutup. Next time saya harus hubungi Nando terlebih dahulu sebelum pergi ke sana. Batal ngopi kali ini, merupakan pertanda untuk kembali datang di lain kesempatan. Halaah. Hehehe.

Bagi kalian yang hendak datang ke Pulau Flores untuk melakukan Flores Overland, atau saat melintasi Detusoko, cobalah mampir di Lepa Lio Cafe. Nikmati sensasi ngopi Kopi Detusoko dengan menu-menu khas lainnya yang pasti bakal memberikan pengalaman tersendiri pada lidah kalian. Mintalah pada Nando untuk kalian bisa ngopi di pinggir sawah. Turis mancanegara saja bisa, apalagi kalian? Hehe. 

Besok ... ke mana kite? :p


Cheers.

Komentar

  1. Menarik soal pantang adat atau pire ini, mungkin perlu ada ulasan khusus ttg hal ini....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena saya baru tahu dan tidak ada seorang pun yang bisa ditanyakan di jalan kecuali bocah SD jadi saya batal tahu hahahah tahunya justru setelah pulang :D Wokeh! Nanti bakal nanya ke Nando ah ada apa hari itu, pantangan adat yang seperti apa ... bla bla blaaaaa :D

      Hapus
    2. Kalau di statusnya Nando sih sampai 21 Oktober tapi kayaknya pire itu masih berlangsung sampai sekarang heheheh.

      Hapus
  2. Sayang sekali, ya. Untung masih bisa ke sana sewaktu-waktu. Kalau yang ingin minum di situ turis dari Pulau lain bisa terbawa-bawa mimpi berbulan-bulan. Tapi masih bagus ada info di facebook .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sayang banget sudah ke sana tapi terus tutup hahaha. Tapi kan lumayan lah, deket, jadi bisa pergi lagi kapan-kapan :D

      Hapus
  3. Sudah saya catat supaya nanti kalau ke Ende yang saya tuju buat ngopi adalah Lepa Lio Cafe..

    BalasHapus

Posting Komentar

Untuk pertanyaan penting dengan respon cepat, silahkan hubungi nomor WA 085239014948 (Chat Only!)