Wa'ai Ndota, Makanan Pokok Pengganti Nasi


Kabupaten Ende yang terletak di tengah Pulau Flores dihuni oleh penduduk asli yang terbagi ke dalam dua suku yaitu Suku Ende dan Suku Lio. Penduduk asli ini disebut atha mera sedangkan kaum pendatang disebut atha mai (selain atha, juga ditulis ata). Meskipun sama-sama berada di bawah wilayah administratif Kabupaten Ende, namun dua suku besar ini mempunyai perbedaan. Perbedaan itu diantaranya perbedaan bahasa (bahasa Ende dan Bahasa Lio), perbedaan adat dan budaya, serta perbedaan peraturan komunitas adatnya. Meskipun demikian, ketua adat sama-sama disebut mosalaki. Umumnya Suku Ende mendiami wilayah bagian Selatan, sedangkan Suku Lio mendiami wilayah bagian Timur dan Utara. Perbedaan kedua suku ini dipengaruhi oleh akulturasi. Suku Ende dipengaruhi oleh budaya atha mai dari Makassar, misalnya, sedangkan Suku Lio dipengaruhi oleh atha mai dari Portugis dan Belanda. Hal tersebut berpengaruh pada Agama yang dianut. Tapi, perlu dan penting dicatat, masyarakat lintas agama hidup di dua wilayah suku ini dengan aman dan tentram dan tidak mempan diprovokasi.


Masyarakat Suku Lio yang kaya akan tanah yang subur tentu tidak kesulitan dengan yang namanya beras (nasi) dan/atau sayur-mayur, tapi tentu sulit memperoleh ikan segar. Kebalikan dari Suku Lio, masyarakat Suku Ende yang mendiami pesisir pantai bagian Selatan sangat kaya akan hasil laut seperti ikan dan cumi-cumi, tapi tentu tidak kaya akan beras (nasi). Masyarakat Suku Lio dapat mengakali ikan dengan mengkonsumsi hewan ternak, masyarakat Suku Ende mengakali beras (nasi) dengan panganan yang disebut wa'ai ndota. Bahan dasar wa'ai ndota mudah didapat, tidak perlu harus membeli, bahkan, karena bisa ditanam sendiri. Ya, wa'ai ndota berbahan dasar ubi; aneka jenis, tidak perlu harus ubi Nuabosi hehe.

Apa itu Wa'ai Ndota?

Wa'ai berarti ubi. Disebut juga uwi atau uwi kaju (ubi kayu). Ndota berarti cincang. Betul sekali, wa'ai ndota berarti ubi cincang. Sejak kecil saya sudah tahu panganan yang satu ini karena Bapak asli Suku Ende yang moyangnya bermukim di Pulau Ende.

Lantas, Bagaimana Wa'ai Ndota Dibuat?

Membuat wa'ai ndota tidak sembarang bisa dilakukan oleh semua orang. Yang perlu disiapkan sebelumnya adalah:

1. Papan untuk mencincang.
2. Dua buah parang ukuran sedang yang nyaman di tangan.
3. Ubinya donk hehehe.
4. Kain bersih untuk memeras.
5. Alat pemeras.
6. Panci kukus.

Pertama-tama ubi dikupas, dibersihkan urat-uratnya dan dicuci, lantas dipotong kecil. Setelah itu ubi dicincang di atas papan menggunakan dua parang. Ini yang unik! Irama mencincang ubi itu keren sekali sampai-sampai wa'ai ndota juga disebut UBI JEZ. Disebut ubi jez (dari jazz) karena irama mencincang seperti tabuhan alat pukul begitu. Enak ya kalau kasih nama hahaha. Padahal iramanya tidak mirip irama musik jazz sama sekali. Waktu kecil, sekolah SD saya berada di tengah hutan, bertetangga sama perkampungan masyarakat Suku Ende. Hampir setiap pagi saat berangkat sekolah saya mendengar suara 'tabuhan' ubi jez ini. Lagi pula di pinggir jalan tikus menuju sekolah terletak alat pemeras ubi milik masyarakat yang bisa dipakai banyak rumah tangga.

Alat pemeras? Iya, mari kita lanjut!

Setelah ubi dicincang, ubi yang sudah halus itu lantas dimasukkan dalam kain bersih untuk diperas. Diikat dulu ya agar ubinya tidak tercerai-berai di tanah. Alat peras ini terdiri dari dua batang kayu yang melintang di atas dua patok kayu. Kain berisi ubi cincang diletakkan diantara kayu yang melintang, lantas diduduki untuk memeras airnya. Air perasan ubi cincang ini tidak dibuang melainkan ditampung di dalam wadah (baskom). Kenapa ditampung? Karena sari pati dari air perasan ubi cincang ini bakal dijadikan panganan turunan bernama alu ndene. Nanti saya bakal menulis tentang si alu ndene yang juga disebut pizza-nya Orang Ende. Hahaha.

Ada ubi jez.
Ada pizza Ende.
Enak benerrrr.

 

Ini namanya ikan pari, setelah dibakar lalu disuwir, stelah itu dimasak menggunakan bumbu. Kami menyebutnya ikan pari bale tomat.

Setelah diperas, ubi cincang lantas dikukus. Setelah matang ... trada ... jadilah makanan pokok pengganti nasi yang disebut wa'ai ndota. Penampakan utuh dapat kalian lihat pada foto di awal pos.

Menikmati wa'ai ndota harus siap banyak air minum kalau tidak mau sesak di kerongkongan hahaha. Ini hanya sekadar saran dari pengalaman pertama saya menikmati si wa'ai ndota berpuluh tahun lampau. Suku Ende menikmati wa'ai ndota dengan lauk seperti ika soa (ikan pari yang dikare maupun yang dibakar-goreng), bisa juga dengan ikan asap yang dikare, sayur ngeta (sejenis urap kalau di Jawa), dan sambal mentah seperti sambal kemangi atau sambal jeruk. Rasanya? Mamamiaaaa enak banget. Beberapa waktu lalu saya mendapat wa'ai ndota dan ikan pari dari Bibi Tum (tinggal di Pulau Ende) dan sepupu saya si Aida, waktu mereka main ke rumah bertemu Mamatua:


Menggoda sekali kan wa'ai ndota dan ikan parinya? Padahal minggu sebelumnya saya mendapat kiriman ubi kuning rebus dan ikan bakar dari sepupu yang lain, Ida dan Aynun. Aynun ini bekerja sebagai dosen di Uniflor:


Lapor sini kalau kalian tidak ngiler melihat dua foto di atas hehehe. 

Bisakah Traveler Menikmati Wa'ai Ndota?

Tentu bisa donk. Sudah jauh-jauh ke Ende tapi tidak mencicip wa'ai ndota mah rugi. Di mana bisa memperoleh wa'ai ndota? Yang pertama ada Rumah Makan Khalilah. Khalilah terletak tepat di samping jalan masuk Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende. Kalau kalian keluar dari bandara, belok kiri, langsung ketemu Khalilah di Jalan Ahmad Yani. Selain wa'ai ndota, Khalilah juga menawarkan menu andalan lainnya seperti nasi kacang, jagung bose, ikan bakar khas Ende, sampai alu ndene. Selain Khalilah, wa'ai ndota juga dijual dalam kemasan bungkusan seharga 5K sampai 10K di Pasar Mbogawani. Tidak banyak yang menjual wa'ai ndota di Pasar Mbongawani karena lebih banyak penjual nasi kuning/nasi kucing, kalau terlambat ke pasar, pasti sudah ludes. Tapi kemasan bungkusan ini lauknya tidak bisa dipilih jadi kalian harus terima apabila menikmati wa'ai ndota dengan ikan goreng bumbu hehehe, bukan ikah berkuah/kare. Siapkan banyak air atau makannya pelan-pelan saja yaaaa.


Sebagai Orang Ende, asli Suku Ende dan Suku Lio (darah campuran nih saya hahaha), tentu saya suka banget sama wa'ai ndota. Kalau keinginan untuk menikmatinya muncul, saya langsung pergi ke Rumah Makan Khalilah. Atau, minta dikirimin sama saudara-saudara dari Suku Ende yang bermukim di daerah pesisir. 

Selain wa'ai ndota, kuliner khas Suku Ende lainnya adalah alu ndene, dodol Pulau Ende, dan kue rambut. Sedangkan kuliner khas Suku Lio diantaranya kibi (beras pipih), nasi bambu, dan lain-lain yang bakal saya tulis di lain pos.

Ditunggu di Ende!


Cheers.

Komentar

  1. Wah menggoda selera sekali kulinernya....
    Kok ada ubi yg berwarna kuning, pohonnya seperti apa ya?
    Trus ikan pari itu apa yg ekornya tajam?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ubi kuning pohonnya ya sama dengan ubi biasa, mas Aris, hanya saja warnanya kuning (saya tidak tahu nama ilmiahnya). Ikan pari ya ikan pari yang kita sebut manta itu, mas hehehe. Yang ekornya buat nangkal 'mistis2' gitu .... konon katanya :D

      Hapus
  2. Wah asyik sudah ada rumah makan dengan menu kuliner lokal.. ah sekali-kali boleh dicoba ke rumah Khalilah kalau ke Ende. Kalau kuliner nasi bambu kelihatannya udah banyak di daerah lain.. terakhir coba nasi bambu di Maumere

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hyuk Bang Bahtiar kapan-kapan ke Ende mari mampir di RM Khalilah wkwkwkwkw. Nasi bambu sudah umum memang ya, Bang. Terakhir saya makan nasi bambu juga di Laja (Ngada). Kata Romo waktu itu: kalau orang Ngada sudah siapkan nasi bambu wajib makan, tidak boleh alasan harus pulang cepat ke Ende :D *dan hari pun gelap*

      Mas Aris: nasi bambu itu nasi yang dimasukkan ke bambu terus dibakar.

      Hapus
  3. Aduh, jadi lapar Kak :'( Baca post ini jadi kangen rumah, soalnya saya suka makan ubi/singkong pakai ikan goreng dan sambal kalau sedang di rumah. Kayanya wa'ai ndota ini teksturnya beda ya karena di peras dan ditumbuk, jadi penasaran :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha Ayo ke Ende supaya nanti bisa merasakan wa'ai ndota 🤗🤗🤗🤗

      Hapus
  4. Aku laper kak, butuh ke Ende. Hahaha.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hyuk mari ... kami butuh pengunjung wkwkwkwk :D

      Hapus
  5. Loh tu ubi jenis apa sih, kok bisa kelihatan kuning banget begitu warnanya, ya ?.
    Menarik banget ..

    Kalau di pulau Jawa, ada ubi warna kuning pucat tapi bukan ubi rebus, kak.
    Tapi tape. Kalau di Jawa Barat disebutnya peuyeum.

    BalasHapus
  6. Dulu wa ai ndota berbentuk kerucut mirip² nasi tumpeng sekarang karna seiring berkembangnya zaman orang² sdh menggunakan panci dan tidak menggunakan dandang kerucut lagi

    BalasHapus

Posting Komentar

Untuk pertanyaan penting dengan respon cepat, silahkan hubungi nomor WA 085239014948 (Chat Only!)