Aimere Tak Hanya Moke

Sebuah vespa dengan warna rasta saya temui di dekat sebuah warung, cabang Bajawa - Aimere.

Saya pernah menulis tentang Moke, Aimere. Tapi tulisan itu kurang adil, menurut saya, karena hanya mengeksplor tentang petani moke (tuak / minuman beralkohol tradisional) saja. Padahal, masih banyak hal lain tentang Kecamatan Aimere yang perlu diceritakan. Perjalanan ke Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, pada November 2014 itu baru bisa saya tulis sekarang. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Saya kuatir anak-cucu kelak tidak tahu bahwa moyangnya pernah punya kenangan indah di Kecamatan Aimere ... termasuk awal mula hubungan dengan si Kakak Pac *sinyal hilang*.


Kecamatan Aimere terletak di Kabupaten Ngada, jelas beda kabupaten (dengan Kota Ende tempat saya tinggal) dan tentu jaraknya sangat jauh. Kalian bisa melihat gambar di bawah ini:


Perjalanan dari Ende ke Aimere memakan waktu sekitar 4 jam 28 menit (164,6 kilometer). Bagi yang sudah terbiasa bisa lebih cepat dari itu. Tapi bagi yang belum terbiasa dengan kondisi jalan lintas Pulau Flores, perjalanan bisa lebih lama. Lama tapi tidak membosankan karena sepanjang jalan pemandangan indah khas Pulau Flores akan tersaji di hadapan kalian; pantai, gunung, hutan, perumahan penduduk, dan lain sebagainya. Bagi saya, mengendarai sepeda motor seorang diri dari Kota Ende ke Kecamatan Aimere bukan perkara besar/sulit. Mungkin karena sudah terbiasa. Ya, saya harus membiasakan diri. Suka jalan tetapi tidak mampu duduk manis di mobil karena mudah mabuk darat, kendarai sepeda motor sendiri adalah solusinya.

Kecamatan Aimere berada pada jalur menuju Kabupaten Manggarai. Bahkan nyaris di perbatasan antara Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai. Dan, apabila Kabupaten Ngada dengan Ibu Kota Bajawa-nya itu terkenal sebagai daerah dingin, maka Kecamatan Aimere yang terletak di tepi pantai ini justru berhawa panas. Tipikal daerah tepi pantai umumnya begitu. Apabila perjalanan dari Ende dan tiba di cabang yang satu ini:


Silahkan belok kiri. Kalau kalian lurus, maka kalian akan tiba di Kota Bajawa. 

Tempat kami (rombongan study tour Fakultas Hukum Uniflor) berkegiatan waktu itu adalah di Desa Binawali, Kecamatan Aimere. Yang namanya study tour, selain banyak belajar dari masyarakat setempat, sekaligus juga kami memberikan banyak materi kepada masyarakat baik melalui seminar di sekolah maupun melalui diskusi bersama kelompok masyarakat desa tersebut. Dan bukan saya namanya kalau tidak mengeksplor Kecamatan Aimere; baik Desa Binawali maupun sampai ke daerah Kota Komba dan perbatasan.


Sama seperti daerah lainnya di Pulau Flores yang masih kental adat dan budayanya, di Desa Binawali kalian dapat menemukan lapangan luas tempat lambang leluhur mereka berdiri. Lambang leluhur itu berbentuk seperti rumah adat mini tapi bukan rumah adat. Lambang ini terdiri atas dua jenis yaitu ngadhu dan bagha. Ngadu yang merupakan lambang leluhur laki-laki berbentuk seperti payung. Sedangkan bagha merupakan lambang leluhur perempuan berbentuk seperti rumah adat mini.


Ngadhu, pada foto di atas (waktu itu saya memang belum berhijab hehe), berjejer berhadap-hadapan dengan bagha. Jumlah ngadhu dan bagha ini sepasang (pasti genap). Jumlahnya tergantung jumlah suku/klan yang ada di daerah tersebut. Kalau kalian ke Bena pun sepanjang perjalanan menuju kampung adat tersebut juga pasti ditemui ngadhu dan bagha ini.

 
Latar belakangnya itu Gunung Inerie. Waktu itu saya tidak sempat foto di depan bagha. Tapi saya punya fotonya waktu ke Kampung Adat Bena. Ini dia bagha:


Selain ngadhu dan bagha, apabila beruntung, kalian juga bisa menangkap pemandangan sunset seperti yang saya tangkap berikut ini:


Lumayan lah, meskipun fotonya masih pakai Samsung Tab3 zaman jebot hahaha. Waktu itu saya dalam perjalanan dari Kota Aimere ke Desa Binawali. Begitu melihat sunset, langsung turun dari sepeda motor, eh diparkir dulu dink, terus jepret sana sini. Momen ini ... kapan lagi?


Waktu itu, usai berkegiatan seminar di SMAN 1 Aimere, kami semua diijinkan beristirahat sebelum melanjutkan kegitan sore. Maka saya dan kawan-kawan pun mulai mengeksplor Kecamatan Aimere hingga ke Kota Komba. Dalam perjalanan itu sepanjang tepi pantai banyak para pedagang ikan segar, kemudian melewati Pelabuhan Aimere, hingga tiba di Kampung Sabu.

 
Kampung Sabu, seperti namanya, rata-rata dihuni oleh pendatang dari Pulau Sabu. Ini kampung paling terkenal karena merupakan tempat para petani moke memproduksi moke. Bahan dasar moke adalah sari/nira pohon lontar. Jadi tidak heran di Kampung Sabu berjejer pohon di kebun lontar:


Pohon lontar pada gambar di atas itulah yang menjadi tumpuan hidup para petani moke. Tentang prosesnya, saya kutip dari pos berikut ini:

Kami mengunjungi salah satunya, dan mulai bertanya-tanya tentang proses pembuatan moke langsung dari petaninya! Jadi, sebut saja namanya Lius, setiap hari memasang sejenis ember untuk mengambil air enau/nira, atau dari pohon lontar. Air nira tersebut didiamkan semalam sebelum dimasak dalam wadah tanah liat dengan suhu panas yang tinggi, untuk menyuling. Di bagian atas wadah tanah liat itu terdapat bambu panjang sebagai saluran mengalirnya hasil sulingan menuju jerigen. Tetes demi tetes inilah ditampung untuk dijual. Itu = moke!

Kota Aimere memang terkenal dengan mokenya yang enak. Dan pembelinya berasal dari luar kota tersebut, termasuk Kota Ende.

Waktu saya tanya soal 'moke dewe' atau moke bakar menyala pada Lius, dia menjawab yang membedakannya adalah prosesnya. Untuk menghasilkan moke dewe, mereka harus menyuling lagi moke yang sudah jadi alias hasil sulingan pertama. Wow ... pekerjaannya panjang dan butuh kesabaran ekstra besar.

Pekerjaan Lius, sebut saja begitu, memang berat. Tapi harus dijalani demi kehidupan keluarganya. 


Memasak moke-nya pun masih menggunakan periuk tanah. Sehingga urusan rasa, kata orang-orang yang pernah minum, enak. Hehe. Jangan tanya saya, saya tidak tahu apa-apa soal rasa moke ini. Kalau sekarang banyak yang memasak nira untuk moke ini menggunakan drum.


Ditungguin? Rajin amat mereka berdua hahaha:


Kecamatan Aimere merupakan daerah persinggahan bagi para pejalan serta transportasi umum. Selain itu, di sana juga ada pelabuhan sehingga Kota Aimere-nya pun dapat dipastikan selalu ramai. Umumnya pekerjaan masyarakatnya adalah bertani/berladang, nelayan, serta petani moke. Yang lain; tentu sebagai ASN, polisi, pemilik kios/toko, warung makan, serta guru. Dan kalau ditanya, apakah saya masih ingin pergi ke Kecamatan Aimere? Oh, tentu! Masih banyak cerita lainnya yang bisa saya gali di sana. Siapa mau sponsorin nih? Hahaha *becanda*.


Saran saya, kalau kalian berkunjung ke Kampung Adat Bena, sekalian saja kunjungi Kecamatan Aimere. Siapa tahu kalian menemukan cerita perjalanan yang berbeda dari saya. Apabila hendak menginap, di Aimere juga ada penginapan. Atau mau kembali/meneruskan perjalanan ke Kota Bajawa juga fine saja. Di sana justru lebih banyak lagi penginapan yang bisa jadi pilihan.

Aimere, memang tak hanya soal moke saja.

Informasi

Jarak Ende - Aimere: 4 jam 28 menit (164,6 kilometer).

Kendaraan: mobil dan/atau sepeda motor.

Penginapan: Hotel Agogo.

Rumah makan: Tersedia (di dekat hotel).

Pelabuhan: Pelabuhan Aimere.


Semoga bermanfaat!


Cheers.

Komentar

  1. Kalo mimpi ke Flores kesampean, bisa nggak sih pinjem vespa yg di ada foto?hihihi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa, hahahah nanti kita pinjam sama-sama ke orang yang punya yaaaa :(

      Hapus
  2. Aku tuh, semakin ingin ke sana....

    BalasHapus
  3. Sejak awal trabelling ke Flores tahun 2014 aku langsung jatuh hati dengan pulau cantik ini. Bahkan aku punya keinginan untuk road trip keliling Pulau Flores. Sementara bermimpi, aku suka baca-baca catatan perjalanan traveller yg jalan-jalan ke Flores. Thank God aku nemu postingan mbak lewat blogger perempuan.

    Btw, salam kenal dari Dini ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, Dini. Hehehe yuk mari ke Flores ... kalau ke Ende kabar-kabari yaaaa :*

      Hapus

Posting Komentar

Untuk pertanyaan penting dengan respon cepat, silahkan hubungi nomor WA 085239014948 (Chat Only!)