Pertengahan November 2014 saya dan teman-teman Fakultas Hukum mengikuti kegiatan study tour di Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada. Meskipun judulnya study tour, bagi saya ini tetap melancong. Sekali merengkuh dayung, 3 pulau terlampaui. Huehehehe.
Saya berangkat 2 hari setelah teman-teman lain, alias rombongan utama. Maklum, masih harus selesaikan tumpukan pekerjaan.
Dari Kota Ende kendarai motor sendiri. Motor lain ada Akiem dan Effie, dan satu lagi Viktor. Dari Ende sekitar pukul 10.00 Wita, banyak berhenti di tempat tertentu untuk istirahat, foto-foto, dan makan, tiba di Aimere sekitar pukul 16.30 Wita. Lumayan. Setelah istirahat, saya cari penginapan karena kebutuha air saya pasti bakal bikin penduduk misuh-misuh. Penginapan Agogo, cukup memuaskan meskipun tak ada kipas anginnya padahal Kota Aimere begitu panasnya karena terletak di tepi pantai.
Keesokan harinya mengikuti kegiatan penyuluhan di SMAN 1 Aimere, lantas jalan-jalan bareng 5ekawan (Viktor, Akiem, Effie, dan Samphet) untuk mengisi waktu. Nah, kami jalan-jalan hingga perbatasan Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai, di Kota Komba. Dalam perjalanan itulah kami melintasi Kampung Sabu, tempat pembuatan moke (sejenis tuak khas NTT).
Ternyata rata-rata rumah/penduduk di Kampung Sabu ini berasal dari Pulau Sabu (alasan dinamakan demikian) dan dominan petani moke.
Kami mengunjungi salah satunya, dan mulai bertanya-tanya tentang proses pembuatan moke langsung dari petaninya! Jadi, sebut saja namanya Lius, setiap hari memasang sejenis ember untuk mengambil air enau/nira, atau dari pohon lontar. Air nira tersebut didiamkan semalam sebelum dimasak dalam wadah tanah liat dengan suhu panas yang tinggi, untuk menyuling. Di bagian atas wadah tanah liat itu terdapat bambu panjang sebagai saluran mengalirnya hasil sulingan menuju jerigen. Tetes demi tetes inilah ditampung untuk dijual. Itu = moke!
Kota Aimere memang terkenal dengan mokenya yang enak. Dan pembelinya berasal dari luar kota tersebut, termasuk Kota Ende.
Waktu saya tanya soal 'moke dewe' atau moke bakar menyala pada Lius, dia menjawab yang membedakannya adalah prosesnya. Untuk menghasilkan moke dewe, mereka harus menyuling lagi moke yang sudah jadi alias hasil sulingan pertama. Wow ... pekerjaannya panjang dan butuh kesabaran ekstra besar.
Dalam kegiatan penyuluhan di SMAN 1 Aimere soal bahaya narkoba, salah seorang murid bertanya, "Moke dilarang pemeritah dan aparat sering melakukan operasi memberantasnya. Lantas bagaimana dengan kami anak-anak petani moke? Jujur, kami bisa sekolah ini dari hasil jual moke..."
Dilema.
Tapi bagaimana pun, saya menyukai kunjungan 5ekawan di Kampung Sabu, melihat langsung proses pembuatan moke...
Cool!
Mkke adalah tradisi,dengan meminumnya saya telah melestarikan tradisi.....
BalasHapusSedaaappp
Mau mau tu eee hahahaha :D
HapusPemerintah harus bijak menyikapi..☺😊
BalasHapusBetul sekali om Aram.
HapusHaha, sy pernah minum ini, klo plg kampung psti sy dpt satu sloki, spti minum spirtus hahaha
BalasHapusTp asl gk dioplos, msh okelh, toh alami kh, asl tepat guna, jgn dpake ank2 tk pny otak, itu tk brguna atau org2 tua tk berakal budi.
Minumlh sckp ny untuk alasan kshtn sj, gk ush berlebih.
Mslh ny mngatur hal bgni sulit, krn msing2 org y ngrasa bnr sndiri, ujungny2 jd mslh bwt yg lain.
Betul, harusnya moke adalah minuman adat yang cukup satu dua sloki saja, untuk memenuhi ritual adat seperti membangun rumah, pernikahan, dan lain sebagainya. Tapi disalahgunakan oleh orang-orang untuk meminum tanpa batas sehingga berakibt mabuk. Kalau sudah mabuk ... bakulai sudah hehe.
HapusMengapa tak dibikin jadi gula aren/nira saja? Itu lebih aman dan menghasilkan, saya rasa. Soalnya moke memabukkan, sedang gula aren itu manis dan bikin sehat.
BalasHapusHem, ini soal tradisi atau bagaimana, ya?
Ternyata di Flores ada banyak pulau kecil ya kak, termasuk pulau sabu ini...
BalasHapusTrus apa solusinya ketika Moke dilarang pemerintah?