Tahap-Tahap Menuju Pelaminan Dalam Adat Suku Ende

Pernikahan Keponakan: Angga dan Titin.

Tahap-Tahap Menuju Pelaminan Dalam Adat Suku Ende. Di Kabupaten Ende hidup dua suku besar yaitu Suku Ende dan Suku Lio. Suku Ende berbasis di daerah pesisir pantai bagian Selatan. Datangnya para pelaut dari daerah luar ke daerah pesisir Ende menyebabkan terjadinya akulturasi budaya serta agama (Islam). Sama halnya dengan Suku Lio yang berbasis di daerah pegunungan. Akulturasi terjadi dengan kebudayaan serta agama (Katolik) yang dibawa oleh Pastor-Pastor asal Portugis dari Flores bagian Timur (Kota Larantuka). Umumnya di Kabupaten Ende, dua suku yang saya sebut ata mera (penduduk asli) berbaur tanpa sekat bersama suku-suku lain para ata mai (pendatang). Demikian pula dengan agama: Katolik, Islam, Hindu, dan Budha, yang hidup berdampingan dalam harmoni.

Juga Asyik Dibaca: 5 Yang Unik Dari Ende (Bagian 1)


Meskipun berbeda suku, Ende dan Lio, tapi kami sama-sama Orang Ende (merujuk pada kelompok besarnya yaitu Kabupaten Ende). Jika ditanya tentang suku barulah kami menjawab: Suku Ende, atau Suku Lio.

Pulau Ende dan pesisir Pantai Selatan dari Kota Ende (Kota Ende terletak di Pulau Flores). Khusus Pulau Ende, dihuni oleh Suku Ende dan semuanya beragama Islam.

Masing-masing suku, baik Suku Ende maupun Suku Lio, mempunyai adat dan budayanya masing-masing yang masih dipegang teguh sampai kapanpun. Adat dan budaya boleh bergradasi dengan kehidupan moderen, tapi tidak boleh punah. Dan kami, Orang Ende, bangga pada adat dan budaya kami, masing-masing suku. Banyak hal yang dilakukan oleh Orang Ende untuk terus menjaga dan melestarikan adat dan budayanya. Yang paling mudah antara lain mengenakan pakaian adat/tradisional saat menghadiri pernikahan juga acara-acara tertentu yang punya aturan dress code pakaian adat/tradisional, mengikuti acara adat keluarga setiap suku dengan membawa hadiah sarung tenun ikat, hingga mengenakan pakaian bermotif daerh setiap Hari Kamis (ini berlaku di tempat saya bekerja yaitu Universitas Flores).

Contoh pakaian motif daerah seperti yang dipakai Mam Detty Bere (kanan dari pembaca). Boleh kemejanya terdiri dari 100% motif daerah (tenun), boleh dipadukan dengan kain lain.

Dalam hal pernikahan pun ada perbedaan antara Suku Ende dan Suku Lio. Kali ini saya khusus menulis tentang tahap-tahap menuju pelaminan dalam adat Suku Ende. Alasannya sederhana, saya Suku Ende, dengan demikian sudah sering saya menyaksikan tahap-tahap yang ditempuh saat ada anggota keluarga yang berencana menikah.

Untuk mempermudah, ilustrasi nama calon pengantin saya pakai Rojak dan Rubiyah. Mari simak perjalanan Rojak dan Rubiyah menuju pelaminan.

1. Ta'aruf dan/atau Pacaran


Tidak semua pasangan memilih proses ta'aruf. Tidak semua pasangan memilih proses pacaran. Mana-mana suka, kembali pada kemauan masing-masing. Kalau melihat dari sisi syariat, ya jelas ta'aruf, agar terhindar dari perbuatan dosa. Namun, tidak selamanya pula orang yang pacaran itu melakukan perbuatan dosa karena mampu menahan diri dari godaan iblis. Insha Allah. Perkara-perkara ini tidak bisa dipukul sama rata. Itu pendapat saya pribadi. Yang jelas, kaum muda dari Suku Ende ada yang menjalani ta'aruf, ada yang pacaran.

2. Temba Zaza


Temba zaza atau timbang rasa merupakan kunjungan awal utusan orangtua Rojak ke rumah Rubiyah setelah mengetahui bahwa Rojak dan Rubiyah telah ber-ta'aruf dan/atau pacaran, serta berniat serius menuju pelaminan. Menurut pengamatan saya, temba zaza merupakan tahap pengukuhan. Sehingga secara adat kalau dilihat dari hubungan pacaran (bukan ta'aruf), baik orangtua Rojak dan Rubiyah, keluarga, tetangga, hingga teman-teman, tidak perlu mempertanyakan lagi: siapakah gerangan laki-laki yang sering bersama Rubiyah. Atau, siapakah gerangan perempuan yang sering diajak jalan-jalan sama Rojak.

Saat temba zaza, utusan orangtua Rojak akan membawa aneka kudapan dan buah-buahan yang diletakkan di atas dulang. Setelah itu, bisa jadi keesokan harinya keluarga Rubiyah memulangkan dulang-dulang tersebut, tapi bukan dulang kosong, melainkan ada isinya pula. Bisa pula dulang-dulang tersebut tidak perlu dikembalikan oleh keluarga Rubiyah. Tapi proses ini belum disebut bhaze duza (balik dulang). Tapi pola timbal balik tetap ada.

Usai temba zaza, maka keluarga Rojak dan Rubiyah melakukan pertemuan untuk berembug dan menentukan bersama beberapa perkara seperti diantaranya: hari dan tanggal nai ono (masuk minta atau lamaran) beserta buku pelulu, apa-apa saja yang perlu dibawa pada hari itu, termasuk tentang uang isi kumba isi ae nio. Uang isi kumba isi ae nio ini nantinya diserahkan kepada paman-paman dari Rubiyah, yang akan dibalikin dalam bentuk barang.

3. Nai Ono dan Buku Pelulu


Nai ono (masuk minta atau lamaran) dan buku pelulu. Melamar Rubiyah, keluarga besar Rojak telah diundang secara lisan sebelumnya (disebut sodho sambu) oleh perwakilan keluarga inti Rojak. Yang diucapkan dalam sodho sambu itu, dalam bahasa Ende campur-campur Bahasa Indonesia, adalah sebagai berikut:

Kami mai sodho sambu mai Baba Ine ko Rojak, Hari Minggu jam empat kita wi nai ono fai ko Rojak ne'e acara buku pelulu. Mendhi ne'e kue se-bha. (Kami datang menyampaikan pesan dari Bapak dan Mamanya Rojak. Hari Minggu jam empat kita bakal melamar perempuannya Rojak dan buku pelulu. Bawa sama kue sepiring ya).


Setelah semua keluarga berkumpul pada hari yang ditentukan, semua barang hantaran dinaikkan ke atas kendaraan, sedikit omongan dari pihak keluarga inti, maka berangkatlah keluarga Rojak menuju rumah Rubiyah. Di rumah Rubiyah pun tentu sudah menanti kaum keluarganya. Ramai? Pasti! Hehehe.

Apa saja yang diantarkan?

Mulai dari cincin, uang jajan dari calon mertua untuk Rubiyah, pakaian ini itu dan asesorisnya, sarung, hingga aneka kudapan/kue yang sebelumnya sudah diantarkan oleh keluarga Rojak (dikumpulkan, sesuai omongan dari sodho sambu) sebelum pergi ke rumah Rubiyah.


Usai nai ono dan buku pelulu, selanjutnya adalah bhaze duza (balik dulang). Pihak Rubiyah bakal mengembalikan dulang-dulang yang diantar oleh pihak Rojak (bisa beberapa hari, biasanya satu minggu, setelah nai ono dan buku pelulu). Jumlah dulang yang dibalikin harus sama dengan yang diantarkan oleh pihak Rojak. Isinya sih boleh berbeda. Kalau sudah selesai tahap yang ini, maka selanjutnya adalah tahap mendhi belanja (boleh disebut belis) tadi. Tapi dalam adat Suku Ende dan Suku Lio, harus ada satu momen bernama minu ae petu (minum air panas).

4. Minu Ae Petu


Minu ae petu dilakukan oleh pihak yang hendak menyelenggarakan hajatan seperti pernikahan dan khitanan. Untuk keperluan pernikahan, minu ae petu hanya dilakukan oleh pihak calon pengantin laki-laki; mengundang kaum kerabat, tetangga, teman-teman, untuk duduk menikmati air panas dan tentu menyumbang sejumlah uang (yang dimasukkan ke dalam amplop) kepada tuan rumah. Menyumbang sejumlah uang ini bukan tujuan utama minu ae petu tapi kebersamaan merangkul kaum kerabat untuk suatu perayaanlah yang utama. Minu ae petu pun bukan berarti tamu yang datang hanya disuguhi air panas, melainkan teh, kopi, kudapan, hingga makan besar. Sekaya-kayanya orang Ende, pantang melewati minu ae petu, karena bakal dianggap melanggar adat dan kebiasaan masyarakat.

5. Mendhi Belanja / Antar Belis


Mendhi belanja, juga disebut dengan mengantar belis, dilakukan atas kesepakatan dari oleh kedua belah pihak. Pada zaman dahulu, mendhi belanja dipenuhi drama dimana kurir dari pihak Rojak harus bolak-balik antara rumah Rojak dan rumah Rubiyah karena uang belanja dan lain sebagainya yang masih dianggap kurang oleh pihak keluarga Rubiyah. Bolak-balik si kurir ini bisa memakan waktu berjam-jam.


Zaman sekarang, biasanya masing-masing orangtua sudah punya pembicaraan di balik layar, sehingga urusan kurir ini menjadi drama yang diatur. Mari kita simak:

DRAMA KURIR DALAM MENDHI BELANJA

Kurir: laki-laki utusan orangtua Rojak.
Contoh kesepakatan kedua belah pihak (Rojak dan Rubiyah):
- Uang belanja Rp 50.000.000
- Uang RT/RW Rp 750.000 
- Uang RT/RW dan Masjid Rp 1.000.000 
- Uang Isi Kumba Rp 6.000.000
- Uang Isi Ae Nio Rp 3.000.000
- Uang Air Susu Ibu, ditiadakan
- Seekor sapi
- Perlengkapan kamar pengantin komplit
- Perlengkapan untuk pengantin perempuan
- Dan lain sebagainya

Pada hari yang telah disepakati, keluarga Rubiyah telah menunggu kedatangan kurir terlebih dahulu ke rumah mereka. Lantas saat kurir datang, kurir bakal bilang bahwa yang disiapkan oleh keluarga Rojak adalah uang belanja sebesar Rp 30.000.000 dan uang-uang lain yang juga jumlahnya dikurangi dari kesepakatan di balik layar itu (namanya juga DRAMA!). Keluarga Rubiyah menolak. Kurir pura-pura pulang (aslinya ke rumah tetangga Rubiyah yang jaraknya satu blok dari rumah Rubiyah) lantas balik lagi dan menyampaikan uang belanja sebesar Rp 45.000.000 dan uang-uang lain yang jumlahnya dinaikkan sedikit. Keluarga Rubiyah menolak. Kurir pura-pura pulang, lagi, dan kembali ke rumah Rubiyah. Biasanya sampai tiga kali. Ketika mencapai Rp 50.000.000 beserta angka lain yang sudah disepakati di balik layar, maka keluarga Rubiyah setuju. Setelah itu barulah kurirnya pulang beneran dan proses mendhi belanja dilakukan.

Drama kurir ini paling saya sukai karena unik sekali. Bayangkan kalau zaman dahulu, drama dalam tanda kutip dimana si kurir beneran harus bolak-balik ke rumah Rojak-Rubiyah ... fiuh. Asyik juga kalau menulis tentang drama ini di pos tersendiri hehe.

6. Tu Ata Nika / Jeju


Tu Ata Nika oleh keluarga Rojak juga disebut jeju. Jadi, setelah sodho sambu (lagi), keluarga Rojak bakal berkumpul di rumah di rumah Rojak satu jam sebelum ijab kabul di lokasi yang ditentukan (bisa di masjid, bisa di rumah Rubiyah). Lantas mereka beriringan ke lokasi ijab kabul. Biasanya satu pick up bakal diisi para pemain feko genda atau rebana juga boleh. Bunyi-bunyian khas menuju pelaminan begitu deh hehehe.


Tahap-tahap menuju pelaminan dalam adat Suku Ende ini mungkin menurut orang luar ribet sekali. Tetapi bagi kami ini adalah adat dan budaya yang harus terus dijaga, dirawat, dilestarikan.

Juga Asyik Dibaca: 5 Yang Unik Dari Ende (Bagian 2)


Tahap-tahap menuju pelaminan dalam adat Suku Ende berbeda dengan tahap-tahap menuju pelaminan dalam adat Suku Lio. Tetapi ada hal yang sama yaitu mendhi belanja (Suku Ende) dan belis (Suku Lio). Sama-sama hantaran keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan dengan isi yang sudah disyaratkan terlebih dahulu. Saya sering membaca tulisan tentang belis yang konon katanya memberatkan. Tetapi tidak bisa dipukul sama rata seperti itu. Banyak keluarga baik dari Suku Ende maupun Suku Lio yang tidak lagi terlalu mengutamakan belis. Yang penting secara agama-nya kedua insan ini telah bersatu secara sah dalam lembaga pernikahan. Belis, bisa disesuaikan dengan kehidupan moderen.

Mari jaga adat dan budaya kita :)



Cheers.

Komentar