Apabila wisatawan datang ke Danau Kelimutu dari arah Timur, yang artinya bisa dari Kota Ende dan/atau dari Kecamatan Detusoko, pasti melintasi pasar yang satu ini. Namanya Pasar Ndu'aria. Sejak kecil saya diperkenakan oleh orangtua bahwa di pasar ini lah keluarga kami dari pihak Mamatua yang menetap di Desa Koanara menjual hasil buminya. Kampung besar nenek moyang saya dari pihak Mamatua bermukim di Dusun Faipanda. Salah satu keluarga kami yang berjualan di situ bernama Tanta Lero. Bertahun-tahun lalu saya masih bertemu Tanta Lero, tubuh mungilnya mengenakan lawo lambu (sarung dan baju) dan rambut disanggul jamu dan mengunyak sirih-pinang, lantas mengobrol dan hasilnya saya dititipi aneka sayuran untuk Mamatua. Tapi seiring waktu berjalan, dan saya bukan orang yang rutin melintasi Pasar Ndu'aria, sudah tidak saya temui lagi Tante Lero di sana.
Baca Juga : Coconut Garden Beach Resort
Dalam bahasa Suku Lio, ndu'a berarti kampung dan ria berarti besar. Ya, Ndu'aria berarti kampung besar.
Pasar Ndu'aria terletak di jalan trans-Flores. Jarak dari Ende ke Pasar Ndu'aria adalah 46,3 kilometer dengan jarak tempuh bervariasi tergantung kecepatan speedometer. Tapi kalau berangkat dari Kota Ende ke Pasar Ndu'aria, khusus orang baru mana bisa cepat, karena pasti sering berhenti untuk foto-foto. Tidak kuat godaan pemandangannya.
Dulu dapat dikatakan Pasar Ndu'aria dibelah oleh jalan trans-Flores karena lapak-lapak para pedagang berada di sisi kanan-kiri jalan. Tapi Selasa (20 November 2018) kemarin saat melintasi pasar ini perjalanan pulang dari Kampung Adat Nggela, lapak-lapak pedagang hanya berada di salah satu sisi jalan saja. Kanan atau kiri, tergantung dari arah mana kalian datang (Timur atau Barat). Apakah kondisi ini disebabkan oleh permasalahan/sengketa yang pernah terjadi, I don't know. Yang jelas kondisi itu membikin Pasar Ndua'ria tidak semanis dulu yang ramainya luar biasa.
Bagi saya, Pasar Ndu'aria merupakan surganya hasil bumi. Apa saja yang dijual di sana? Kita mulai dari penambal perut seperti jagung rebus dan telur rebus. Buah-buahan yang dijual umumnya jeruk, markisa, dan pisang. Sedangkan hasil bumi lain antara lain wortel, tomat, aneka sayuran, hingga kacang (rebus dan goreng). Dulu, harga hasil bumi yang dijual masih tergolong murah, mungkin juga karena ada Tanta Lero. Haha. Jadi, setiap kali ke Danau Kelimutu atau ke Desa Moni, Mamatua pasti berpesan untuk membeli buah dan sayur di Pasar Ndu'aria. Sekarang, harganya tidak jauh berbeda dengan harga yang ditawarkan di Pasar Mbongawani - Kota Ende. Jadi, ketimbang berat bawaan sepeda motor, lebih baik membeli apa yang bisa dimakan di tempat saja.
Selain hasil bumi, para pedagang juga menjual anek minuman kemasan mulai dari air mineral sampai yang berasa, bersoda, dan meningkatkan enerji hehehe.
Menariknya Pasar Ndu'aria sekarang adalah adanya papan nama colourfull di ujung Barat dan ujung Timur pasar sehingga orang-orang yang berkendara bisa membaca dan tahu bahwa mereka sudah tiba di Pasar Ndu'aria. Dulunya sih tidak saya temui papan ini.
Melihat papan nama ini, dan salah satu sisi jalan yang kosong tanpa satu pun lapak, saya jadi kepikiran tentang ... tuh kan ide mulai muncul. Liar sekali ide ini hahah.
Jadi, Pasar Ndu'aria ini meskipun terkenal dan menjadi lokasi yang pasti dilewati semua orang/kendaraan dari/ke Timur/Barat tapi bukan menjadi obyek wisata yang berdiri sendiri. Wisatawan tahu tentang Pasar Ndu'aria dan/atau berhenti di pasar ini hanya sekadar untuk beristirahat sejenak dari perjalanan yang, mungkin, memabukkan. Perjalanan dari Danau Kelimutu atau Desa Moni menuju Kota Ende, atau perjalanan dari Kota Ende menuju Kota Maumere. Satu dua jeruk bakal bikin tubuh menjadi lebih segar. Itu yang kemudian saya pikirkan ... setelah melihat papan nama dan salah satu sisi yang kosong tanpa lapak itu. Bagaimana jika Pasar Ndu'aria dikembangkan menjadi obyek wisata yang mandiri tanpa embel-embel Danau Kelimutu, misalnya?
Tempat nongkrong bisa dibangun di sisi jalan yang kosong itu, atau di dekat bagian belakang lapak yang masih berdiri dengan pemandangan perkebunan, misalnya. Menikmati secangkir kopi panas, amboyyy. Dus, juga dibangun satu atau dua homestay atau penginapan untuk wisatawan yang ingin bermalam. Desa Ndu'aria juga bisa dikembangkan menjadi desa agrowisata seperti Desa Agrowisata Waturaka dengan konsep homestay living in. Wisatawan dapat menginap dan memasak sendiri di dapur rumah bersama pemiliknya, diajak untuk turut bekerja bersama para petani di kebun, ikut memanen, dan/atau memelihara hewan ternak. Geliat perekonomiannya pun pasti bakal lebih panas.
Tapi itu hanya ide dari seorang saya yang tidak punya kemampuan apa-apa. Hanya bisa melontarkan ide lewat tulisan hahah.
Ngetem singkat di Pasar Ndu'aria memang menjadi pilihan para pejalan lintas Flores, termasuk saya. Hawa sejuk khas pegunungan sangat terasa di Pasar Ndu'aria, bikin perut lapar semakin meronta. Tapi bagi kalian yang melakukan perjalanan malam menggunakan sepeda motor dan melintasi Pasar Ndu'aria, hati-hati ... udara dinginnya sangat menusuk kala malam hari. Siapkan jaket yang tebal kalau tidak mau menggigil kedinginan. Udara dingin + angin malam perjalanan menggunakan sepeda motor itu tidak menyenangkan. Hehe. Saya pernah mengalaminya. Dari Kota Ende tujuan Watuneso berangkat pukul 21.30 Wita. Kurang kerjaan. Melintasi Pasar Ndu'aria yang sepi sekitar pukul 22.30 Wita. Dinginnya ... wuih ... jangan ditanya!
Dari tulisan tentang Pasar Ndu'aria ini, apa yang bisa disimpulkan?
Jarak dari Kota Ende ke Nduaria 46,3 kilometer dengan waktu tempuh antara 1 sampai 1,5 jam. Yang ditawarkan oleh Pasar Ndua'ria adalah hasil bumi segar. Tidak ada rumah makan dan penginapan di sekitar Pasar Ndu'aria ini. Rumah makan dan penginapan terdekat berada di Kecamatan Detusoko (arah Barat) dan di Desa Moni (arah Timur).
Semoga bermanfaat.
Yuk, datang ke Ende.
Cheers.
Gak singgah pasar nduaria?
BalasHapusDipastikan Dosa..
Huahahahah dosa besar, Bang! :D
HapusSy jd ingat jeruk di sana itu manis, dulu tahun 1994, di kampung ada pohon jeruk, berbuah lebat, jd kepengen tinggal petik, tp skr pohon ny sdh gk da hiks hiks
BalasHapusHahaha di sini msih bisa petik sendiri jeruk, tapi pohon jeruknya orang/penduduk di situ :p
HapusSaya suka kalimat pembuka dalam paragraf awal, gaya bahasanya khas Neng Tuteh. Mengikuti lokalitas muasal. Itu yang bikin tulisan eneng jadi menarik. Deskriptif sekaligus persuasif, plus ada keunikan lain. Tak cuma bahas dinosaurus mulu, he he.
BalasHapusSaya jadi tahu bagaimana ragam budaya Flores dan ragam bahasa cakapannya.
Sayang memang jika pasar itu malah berubah tak seramai dulu, semoga saja lahan kosongnya bisa dimanfaatkan.
Jadi pengen melancong juga ke Flores. :D semoga saya kelak ada banyak rezeki untuk jalan-jalan.
Terimakasih Kakak Rohyati, saya jadi tahu tentang persuasif-nya hahaha. Dinosaurus mah khusus di blog sebelah kali ya *ngikik*.
HapusIya pasarnya tidak seramai dulu ada lahan kosong di salah satu sisi jalan. Sayang bener memang, Kak, makanya saya berandai-andai hahahaha. Ayo ke Flores, Kak. Ditunggu selalu.
dulu waktu ke kelimutu pas gelap gulita, dini hari. Dan nggak tahu kalau ngelewati pasar ini, next kalo berangkatnya sudah terang pasti keliatan hehe
BalasHapusHahahah iya kalau ke Kelimutu memang harus pepagi sekali sekitar pukul 03.00 atau 04.00 supaya bisa menyaksikan sunrise yang indah itu, Kak. :D
HapusWaah jauh juga ya pasar Ndu' aria ini dari Ende. 43 km an. By the way kok aku mau komen di blog Mbak Tuteh satunya gak bisa ya. Gak nemu kolom komen. Tadi mau komen yang campervan.
BalasHapus